
Pesatnya kecanggihan teknologi yang mendorong berkembangnya bisnis model layanan pengaliran musik (streaming) semisal Spotify memunculkan pertanyaan tentang dampaknya terhadap pendapatan para musisi selaku pemegang hak cipta.
Harus diperhatikan bahwa layanan pengaliran musik terbagi dalam dua jenis; berbayar dan non-berbayar. Layanan berbayar, seperti Spotify, Apple Music, dan Guvera memungkinkan pengguna untuk memilih lagu yang akan mereka dengar. Pengguna Spotify membayar USD10 (Rp135 ribu) per bulan untuk menikmati layanan ini.
Jenis lainnya adalah tidak perlu membayar laiknya pengguna jenis pertama, tapi sejatinya tetap mendatangkan penghasilan secara tidak langsung untuk musisi melalui iklan yang muncul. Penikmat layanan ini juga tidak bisa memilih lagu-lagu tertentu yang ingin mereka dengarkan.
Data penjualan musik semester pertama 2015 yang dirilis Recording Industry Association of America (RIAA) mengungkap bahwa pemasukan dari ranah streaming mencapai USD1,03 miliar alias 33 persen dari total pemasukan industri musik di AS. Sementara penjualan lagu digital dengan sistem unduh berbayar menurun empat persen dari tahun sebelumnya.
Menilik fakta tersebut, wajar jika kemudian muncul sinisme bahwa layanan pengaliran musik semodel Spotify yang pengguna aktifnya total telah menyentuh 75 juta di seluruh dunia (20 juta di antaranya berbayar) adalah biang kerok penurunan tersebut.
Taylor Swift sebelumnya telah menghukum Spotify yang dianggapnya merugikan seniman. Pelantun Bad Blood itu menghapus semua albumnya dari daftar putar perusahaan asal Swedia tersebut.
Dalam alibinya yang ditulis melalui laman Wall Street Journal, biduanita berusia 25 itu berprinsip bahwa musik tak seharusnya gratis.
"Musik adalah seni yang sangat penting dan langka. Hal yang sangat penting dan langka sudah pasti berharga. Dan untuk mendapatkan hal yang berharga harus mengeluarkan uang."
Para ekonom tampaknya tidak berpandangan sama dengan Swift, khususnya bagi duo Joel Waldfogel dari University of Minnesota, AS, dan Luis Aguiar asal Prospective Technological Studies di Sevilla, Spanyol.
Secara singkat metodologi yang digunakan untuk penelitan ini adalah menggunakan empat sumber. Pertama, penjualan musik digital mingguan 21 negara dari Nielsen SoundScanselama periode 2012-13. Negara-negara tersebut termasuk Amerika Serikat, Kanada, dan 19 negara-negara Eropa.
Kedua, data mingguan penjualan fisik dan digital sepanjang 2013 sampai Maret 2015 di AS. Ketiga, jumlah streaming lagu yang masuk dalam daftar Top 50 di setiap negara yang telah menghadirkan Spotify selama kurun 28 April 2013 - 8 Maret 2015.
Keempat, volume lagu milik 8.000 artis papan atas yang diunduh ilegal alias tidak berbayar melalui Torrents yang dipasok oleh Musicmetric.
Hasil dari penelitian yang dipublikasikan The National Bureau of Economic Researchdilansir dari Torrent Freak (28/10/2015) menunjukkan bahwa meski dalam 137 pengaliran musik di Spotify berdampak terhadap pengurangan satu penjualan lagu digital, pada sisi lainnya setiap 47 streaming berhasil mengurangi satu angka unduhan lagu ilegal di situs berbagai berkas antarpengguna Torrent.
Mengingat pendapatan industri saat ini dari penjualan per lagu adalah USD0,82 dan pembayaran rata-rata yang diterima per stream adalah USD0,007, maka secara garis besar dapat dikatakan bahwa kerugian dari setiap penjualan lagu digital yang menyusut tersebut sebanding dengan keuntungan dari sektor streaming berbayar.
"Dengan kata lain, analisis kami menunjukkan bahwa streaming berbayar memberikan dampak yang netral dari segi pendapatan untuk industri musik rekaman. Oleh karena itu, sebaiknya layanan pengaliran musik dianggap sebagai bentuk penghasilan selain jualan digital di toko musik daring," tambah kedua ekonom ini.
Pun demikian, Waldfogel dan Aguiar mengingatkan bahwa penelitian lanjutan tetap dibutuhkan terutama untuk mengukur dampak dari penggunaan layananan pengaliran musik non-berbayar terhadap penjualan musik secara keseluruhan.
semoga bermanfaat ya!!
Salam kenal
Anas Bully
(Sumber : http://beritagar.id/)
Post a Comment